Pemberlakuan SNI Wajib Proteksi Industri serta Konsumen
JAKARTA- Pemerintah mempraktikkan kebijakan non- tarif ataupun Non- Tariff Measures( NTM) supaya bisa membagikan proteksi serta pengamanan terhadap investasi di dalam negara. Kebijakan regulasi teknis berbasis standardisasi ini pula diimplementasi negara- negara lain, yang diperbolehkan lewat perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan( Technical Barriers to Trade/ TBT) dari Organisasi Perdagangan Dunia( World Trade Organization/ WTO).
“ Banyak negeri di dunia yang menggunakan standar, regulasi teknis serta prosedur evaluasi kesesuaian bagaikan instrumen buat mengamankan industri dalam negerinya dari serbuan bahan- bahan impor yang tidak bermutu,” kata Kepala Badan Riset serta Pengembangan Industri( BPPI) Departemen Perindustrian, Ngakan Timur Antara dalam kegiatan Forum Standardisasi Industri di Jakarta, Rabu( 23/ 10).
Ngakan menarangkan, pada tahun 1994, Indonesia secara formal meratifikasi persetujuan pembuatan WTO lewat Undang- Undang No 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the WTO. Maksudnya, Indonesia wajib mempersiapkan diri sebaik bisa jadi buat sanggup mengalami suatu masa globalisasi dengan atmosfer persaingan perdagangan yang terus menjadi ketat.
“ Perihal tersebut pula memunculkan konsekuensi kalau seluruh wujud hambatan perdagangan spesialnya hambatan tarif secara bertahap wajib diturunkan,” ucapnya.
Bagi Ngakan, instrumen yang biasanya dicoba di Indonesia merupakan lewat pemberlakuan Standar Nasional Indonesia( SNI) secara harus, yang fokus utamanya buat bahan- bahan yang berkaitan dengan Keamanan, Kesehatan, Keselamatan manusia dan Lingkungan( K3L).
“ Standardisasi industri ialah salah satu instrumen kebijakan yang bisa berperan ganda, ialah buat tingkatkan akses pasar luar negara serta menekan laju impor,” terangnya.
Di samping itu, standardisasi kerap dijadikan bagaikan dimensi pemenuhan terhadap persyaratan akses pasar di sesuatu negeri tujuan ekspor. Di sisi lain, pemenuhan terhadap persyaratan SNI yang sudah diharuskan, pula bisa menghindari masuknya beberapa barang yang bermutu rendah.
Sampai semester awal tahun 2019, dari total 4. 984 SNI di bidang industri, sebanyak 113 SNI di antara lain diresmikan bagaikan SNI harus“ Buat memberlakukan SNI wajib mesti terdapat sebab. Misalnya, melindungi kesehatan, keamanan, serta lingkungan. Sekali kita menganjurkan jadi harus, wajib pula dinotifikasi WTO,” sebut Ngakan.
Pembuktian kesesuaian kualitas produk dalam kerangka pelaksanaan SNI harus, butuh dicoba lewat evaluasi kesesuaian yang dicoba oleh Lembaga Evaluasi Kesesuaian( LPK), ialah Lembaga Sertifikasi Produk( LSPro) serta Laboratorium Penguji.“ Jadi, kita wajib siapkan infrastruktur buat standarisasinya,” imbuhnya.
Hingga dikala ini, bagi informasi dari Pusat Standardisasi Industri Kemenperin, BPPI ada 51 LSPro serta 87 Laboratorium Uji.“ Kemenperin terus tingkatkan keahlian LPK spesialnya lab pengujian supaya bisa penuhi kebutuhan terhadap pelaksanaan SNI itu sendiri,” ucap Ngakan.
Ngakan juga meningkatkan, ketersediaan infrastruktur standardisasi industri terus ditingkatkan dengan merumuskan SNI.“ Karena, SNI yang diformulasikan pula tidak lepas dari acuan kebijakan industri yang sudah diresmikan setimpal dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional( RPJMN) serta dalam rangka harmonisasi standar baik dalam rangka kerjasama ASEAN, APEC, ataupun perjanjian bilateral serta multirateral yang disepakati oleh Indonesia,” paparnya.
Lebih lanjut, Kemenperin pula terus menjalakan menjalakan koordinasi dengan Departemen/ Lembaga, tidak cuma implementasi SNI Harus saja tetapi pula dalam formulasi SNI Harus, antara lain dengan Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Standardisasi Nasional( BSN).
Sumber : https://ekbis.sindonews.com/read/1451659/34/pemberlakuan-sni-wajib-lindungi-industri-dan-konsumen-1571833676